Pakar manajemen kelas dunia, Peter Drucker, pernah berkata, “Apa yang tidak bisa diukur tidak bisa dikelola.” Tentu saja ini tidak sekedar kata-kata bijak namun sebuah kenyataan yang terjadi di lapangan. Khususnya mengenai kebijakan barang dan jasa, tentu saja hal ini berarti diperlukannya standarisasi terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih baik ke depannya, yang mampu mendukung ketujuh prinsip pengadaan barang dan jasa yang telah disinggung di atas sebelumnya. Melalui Perpres No.16 Tahun 2018 diharapkan standar itu dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya, sehingga bagian pengadaan barang dan jasa tidak lagi dipandang sebagai bagian yang rentan kolusi dan penyelewengan di instansi namun sebagai titik terkuat organisasi untuk menerapkan prinsip-prinsip tranparansi dan akuntabilitas. Tentu saja saat ini sudah banyak sistem informasi barang dan jasa yang serba online yang digunakan untuk menegakkan kedua prinsip good governance tersebut, namun apalah daya sebuah alat secanggih apapun, jika aktor yang mengoperasikannya justru tidak menerapkan prinsip-prinsip pengadaan barjas yang baik. 

Tema yang diangkat dalam Jurnal Analis Kebijakan Volume 3, Nomor 2 Tahun 2019 ini ialah “Penguatan Kebijakan Berbasis Bukti Pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Indonesia Pasca Perpres No. 16 Tahun 2018.” Melalui artikel yang telah dikirimkan oleh para penulis diharapkan dapat memberikan alternatif di dalam memperbaiki kebijakan publik khususnya, kebijakan di dalam pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah.

Published: 2020-03-04